Surat dari Pembaca, Harian FAJAR, Kamis 28 April 2011
ASSALAMU ALAIKUM WW. Berita di Harian FAJAR (Rabu 27 April 2011) berjudul “Proses Doktoral Kang Jalal Diprotes” (h.9), perlu diluruskan agar pembaca tidak keliru. Sepengetahuan saya, UIN (dulu IAIN) Alauddin baru sekali memberi/menganugerahkan gelar doktor kepada seseorang, yaitu Dr. H. Mustafa M. Nuri, LAS, dosen senior/pensiun pakar bahasa arab Fak. Adab/Humaniora.
Adapun Kang Jalal (Prof Dr Jalaluddin Rakhmat) adalah mahasiswa program doktor by research Pascasarjana UIN Alauddin. Karena syaratnya ketat dan berat, sampai sekarang baru tiga mahasiswa by research dari sekian banyak yang berminat. Salah seorang diantaranya sudah selesai/meraih gelar doktor ialah Dr Fuad Rumi. Jadi, tidak benar berita bahwa aka nada pemberian gelar doktor kepada Kang Jalal. Yang benar adalah Kang Jalal mencoba meraih sendiri gelar doktor dengan menjadi mahasiswa program by research.
Selain program by research, ada juga program regular dan non regular. Siapa saja bisa diterima asal memenuhi semua syarat akademik dan administrasi yang ditetapkan oleh UIN Alauddin. Oleh karena itu, UIN-lah yang menentukan laik tidaknya seseorang memperoleh gelar doktor bagi mahasiswa yang menempuh pendidikannya di situ; bukan lembaga lain. Kalau ada lembaga lain yang memprotesnya, maka itu dapat dinilai tidak tahu diri dan tradisi ilmiah.
Disertasi seorang doktor, bahkan bisa saja berlawanan dengan corak pemikiran (Islam) yang dianut oleh pada umumnya warga UIN Alauddin. Sudah biasa di UIN/Pascasarjana, mahasiswa berbeda pendapat dengan dosen dan penguji/promotornya, namun ia berhasil meraih gelar magister atau doktor karena dinilai laik.
Dalam dunia akademik dan pemikiran Islam, tidak ada lembaga agama yang memiliki kuasa absolut untuk menetapkan keislamanan dan keimanan seseorang. Bila ada lembaga agama yang demikian, termasuk MUI dan Kementerian Agama, maka lembaga yang demikian sudah jatuh menjadi mazhab sendiri.
Jika kita tidak menyetujui suatu pemikiran (Islam) seperti disertasi doktor, silahkan dilawan dengan disertasi pula. Itu bagus dan itulah tradisi akademik. Jangan sebuah pendapat dilawan dengan dating berdemo, apalagi mengeroyok atau membunuh pemikirnya. Itu adalah keburukan yang tolol, baik dari segi perkembangan ilmu pengetahuan maupun dari segi agama (Islam).
Akhirnya, untuk kebaikan bersama, buanglah kebencian sekalipun terhadap pemikiran yang memancing kebencian kita, agar rahmat-lah yang muncul dari perbedaan-perbedaan kita.
M Qasim Mathar
Dosen UIN Alauddin Makassar
ASSALAMU ALAIKUM WW. Berita di Harian FAJAR (Rabu 27 April 2011) berjudul “Proses Doktoral Kang Jalal Diprotes” (h.9), perlu diluruskan agar pembaca tidak keliru. Sepengetahuan saya, UIN (dulu IAIN) Alauddin baru sekali memberi/menganugerahkan gelar doktor kepada seseorang, yaitu Dr. H. Mustafa M. Nuri, LAS, dosen senior/pensiun pakar bahasa arab Fak. Adab/Humaniora.
Adapun Kang Jalal (Prof Dr Jalaluddin Rakhmat) adalah mahasiswa program doktor by research Pascasarjana UIN Alauddin. Karena syaratnya ketat dan berat, sampai sekarang baru tiga mahasiswa by research dari sekian banyak yang berminat. Salah seorang diantaranya sudah selesai/meraih gelar doktor ialah Dr Fuad Rumi. Jadi, tidak benar berita bahwa aka nada pemberian gelar doktor kepada Kang Jalal. Yang benar adalah Kang Jalal mencoba meraih sendiri gelar doktor dengan menjadi mahasiswa program by research.
Selain program by research, ada juga program regular dan non regular. Siapa saja bisa diterima asal memenuhi semua syarat akademik dan administrasi yang ditetapkan oleh UIN Alauddin. Oleh karena itu, UIN-lah yang menentukan laik tidaknya seseorang memperoleh gelar doktor bagi mahasiswa yang menempuh pendidikannya di situ; bukan lembaga lain. Kalau ada lembaga lain yang memprotesnya, maka itu dapat dinilai tidak tahu diri dan tradisi ilmiah.
Disertasi seorang doktor, bahkan bisa saja berlawanan dengan corak pemikiran (Islam) yang dianut oleh pada umumnya warga UIN Alauddin. Sudah biasa di UIN/Pascasarjana, mahasiswa berbeda pendapat dengan dosen dan penguji/promotornya, namun ia berhasil meraih gelar magister atau doktor karena dinilai laik.
Dalam dunia akademik dan pemikiran Islam, tidak ada lembaga agama yang memiliki kuasa absolut untuk menetapkan keislamanan dan keimanan seseorang. Bila ada lembaga agama yang demikian, termasuk MUI dan Kementerian Agama, maka lembaga yang demikian sudah jatuh menjadi mazhab sendiri.
Jika kita tidak menyetujui suatu pemikiran (Islam) seperti disertasi doktor, silahkan dilawan dengan disertasi pula. Itu bagus dan itulah tradisi akademik. Jangan sebuah pendapat dilawan dengan dating berdemo, apalagi mengeroyok atau membunuh pemikirnya. Itu adalah keburukan yang tolol, baik dari segi perkembangan ilmu pengetahuan maupun dari segi agama (Islam).
Akhirnya, untuk kebaikan bersama, buanglah kebencian sekalipun terhadap pemikiran yang memancing kebencian kita, agar rahmat-lah yang muncul dari perbedaan-perbedaan kita.
M Qasim Mathar
Dosen UIN Alauddin Makassar